Pemuda Bukan Sekadar Agent of Change tapi Director of Change

SuaraJakarta.co, Berbicara mengenai pemuda berarti berbicara mengenai masa depan bangsa. Pemuda adalah aset bangsa, bahan bakar utama untuk membangun tatanan baru sebuah bangsa. Ditangan merekalah bangsa ini  hendak bermuara. Tak berlebihan rasanya jika presiden pertama bangsa ini berkata dengan optimisme yang tinggi “ Berikan aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Jika kau beri aku satu orang pemuda maka akan aku guncang dunia.”

Format pemuda yang ideal adalah pemuda yang  didalam jiwanya tertanam semangat yang kuat, keikhlasan beramal yang tulus dan memiliki karakter asasi yang melekat kuat didalam hatinya. Pemahaman akan peran pemuda, dan tantangan yang dihadapi kedepan menjadi hal yang tertanam kuat sebagai ideologi yang mengakar dan membumi.

Bukan sekedar agent of change tapi juga director of change

Agent of change sebagai salah satu fungsi pemuda untuk senantiasa menyuarakan pendapat, mencurahkan pemikiran dan gagasan-gagasan brilian yang mampu mendongkrak konsep pemikiran yang tidak lagi relevan dengan kondisi saat ini. Pemuda hendaknya mengasah konsep pemikiran yang tajam, cerdas, cekatan namun tetap mengutamakan integritas sebagai wujud perwajahan pemuda berkarakter.

Pemuda sudah seharusnya memulai peranannya tidak hanya sebagai Agent of Change, tetapi direct of change. Tidak lagi sekedar perubahan yang reaksioner tetapi dengan design restra yang jauh kedepan serta terukur dengan baik. Sehingga cerita sejarah pemuda yang akan tercipta adalah sejarah kontribusi dan kepercayaan, sampai ruang teritorial dan waktulah yang akan menyatakan kelayakannya pemuda untuk kembali mengambil peran kepemimpinan Indonesia di masa depan.

Director of change adalah peran sustainable pemuda setelah peran sebagai agent of change terpenuhi. Sehingga, ketika mahasiswa berhasil mempelopori gerakan perubahan bagi lingkungannya , follow-upnya pemuda harus  menjaga kestabilan perubahan tersebut maka mahasiswa tidak lantas melepas perubahan yang telah terjadi. Mahasiswa harus mampu mengarahkan perubahan yang didapat menuju implementasi dari rencana yang telah dipetakan sebelumnya. Sehingga impian-impian yang telah disusun dan dituntut dapat dicapai dan dirasakan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Perlunya memiliki kaum muda yang untuk memiliki daya tumbuh, berkembang dan mobilitas kuat

Data mencatat dari jumlah pemuda 200 juta lebih, hampir 40 % diantaranya adalah pemuda. Ironisnya, 37,8 % dari jumlah pemuda di Indonesia adalah pengangguran.  Ada ketimpangan antara pertumbuhan pemuda dan dan mobilitas peran pemuda. Sudah menjadi tugas pemuda untuk mulai memikirkan pengelolaan potensi besar yang ada dalam dirinya.

Laju pertumbuhan pemuda hendaknya diimbangi dengan life-skill yang mumpuni, mengingat problematika bangsa yang menantikan pemuda sebagai problem-solver tanah air. Tentunya untuk menjadi problem solver bangsa, terlebih dahulu sukses mengurusi dirinya sendiri.

Kesadaran akan kemampuan untuk memikul beban masyarakat banyak ketimbang pribadi adalah tabiat pemuda dan kebutuhan format kepemimpinan masa depan bagi Indonesia. Bila hal ini dapat terpenuhi, pertumbuhan dan perkembangan pemuda yang dinamis akan mudah dimobilisasi guna memperbanyak tawaran alternatif solusi bagi problematika bangsa saat ini dan yang akan datang.

Tantangan pemuda sekarang berbeda dengan pemuda masa lalu

Kemerdekaan bangsa berhasil diraih tak lepas dari peran pemuda saat itu. Semangat yang berkobar, bersatu padu untuk satu tujuan dan cita yakni kemerdekaan dan kebebesan dari belenggu penjajah.

Hampir sama dengan pasca reformasi, bangsa ini telah  mengalami perubahan yang signifikan dalam pembangunan diberbagai bidang. Menilik kepada kesuksesan pemuda yang menggulingkan pemerintah orde lama, semangat juang mahasiswa fokus untuk menggulingkan pemerintahan yang tak lagi relevan saat itu, menyengsarakan rakyat dan berdampak negatif dari berbagai aspek kehidupan.

Namun, kini di era percepatan informasi yang tak lagi terpaut jarak dan batas, menembus ruang dan waktu. Musuh pemuda tak lagi sepenuhnya akan kezaliman pemerintahan, namun juga ideologi-ideologi asing yang mulai ditanamkan kepada pemuda saat ini. Tantangan pemuda saat ini adalah strategi untuk bertahan di kancah global. Kemajuan pesat di bidang teknologi mendorong masyarakat untuk menjadi garda terdepan dalam perkembangan teknologi. Pemuda seharusnya bukan lagi sebagai konsumen atau penikmat teknologi terbaru, namun orientasi pemuda adalah sebagai ilmuwan-ilmuwan muda untuk melakukan inovasi-inovasi dalam perkembangan teknologi. Disinilah tantangan pemuda agar bagaimana mengetahui strategi yang tepat, jitu sesuai sasaran yang mampu menciptakan produk teknologi qualified yang sesuai perkembangan zaman. Jangan sampai pemuda saat ini terlena dengan kecanggihan hidup dalam era globalisasi. Karena musuh pemuda saat ini lebih lebih menjurus kepada perang ideologi, perang pemikiran barat yang berusaha keras ditanamkan ke pemuda Indonesia melalui sejumlah hiburan-hiburan yang tak lagi menuntut pemuda untuk berfikir kritis, cerdas, dan sigap akan tantangan zaman.

Meyakini peran pemuda tak lagi sekedar Agent of Change tapi juga director of change harus menjadi landasan awal untuk terus mengabdi pada masyarakat. Mobilitas kiprah pemuda senantiasa terus digalakkan, mengkampanyekan perubahan signifikan ke arah yang lebih baik, mewakili kepentingan rakyat sehingga efeknya dapat terasa di semua lini. Jumlah pemuda yang cukup banyak tak hanya sebagai penghias data statistik kependudukan Indonesia, namun juga diiringi dengan life-skill yang linier dan sinergis untuk menentukan muara bangsa ini akan melaju. Globalisasi bukan sebagai hal yang patut di-phobiakan, seharusnya globalisasi menjadi tantangan pemuda sebagai batu loncatan untuk melakukan sejumlah inovasi-inovasi di bidang teknologi, agar tak mudah terseret arus zaman. Ayo bangkit pemuda ! Harapan itu masih ada!

*Dina Fauziah

Head of Public Relation at KAMMI MADANI 2012/2013

Treasury at Forum Remaja Masjid Jakarta Islamic Centre

#2019GantiGayaHidup #ubahcarapandang #investasi #inspiratif #tokohinspiratif,  AgentOfChange

Jepang Tak Kenal Budaya Memberi Tip, Ini 5 Alasannya

Jakarta – Budaya tip rupanya tidak ada di Jepang. Ada alasan mengapa memberi tambahan uang pada pegawai restoran tak umum dilakukan.

Banyak buku panduan wisata menyebut orang-orang Jepang berpikir memberi tip adalah hal tak sopan. Sampai-sampai sebuah jaringan restoran sushi Jepang ternama di New York City ikut memberlakukan aturan ‘no tipping.’

Banyak orang heran mengingat memberi tip sangat umum dilakukan di Amerika dan banyak negara lainnya. Sora News 24 (23/8) merangkum alasan Jepang tidak mengenal budaya tip.

1. Memberi tip bukan budaya Jepang
Meski banyak buku panduan wisata menyebut orang Jepang menganggap memberi tip tidak sopan, sebenarnya tak sepenuhnya begitu. Mereka hanya merasa memberi tip adalah hal aneh.

Sama seperti di Amerika, Jepang juga memberlakukan aturan sektor pekerjaan mana yang pantas mendapat tip. Hanya saja di Jepang tidak ada sektor industri jasa yang masuk dalam kategori tersebut. Pegawai restoran dianggap sudah mendapat upah per jam yang tinggi hingga tak lagi membutuhkan tip.

2. Ada tip ‘terselebung’

Saat mampir ke restoran Jepang, umumnya pegawai memberikan hidangan pembuka mungil bernama otoshi. Meski Anda tidak memesannya, Anda harus tetap membauar hidangan ini.

Otoshi biasanya dibanderol 500 yen atau sekitar Rp 65.800 per kepala. Nah, secara tidak langsung otoshi merupakan bentuk ‘pemaksaan’ pada pengunjung untuk memberi tip pada restoran.

Kalaupun restoran tidak punya otoshi, biasanya mereka memberlakukan pajak layanan meja yang bisa juga jadi tambahan pemasukan pegawai restoran.

3. Restoran Jepang punya jam istirahat

Tak seperti gerai-gerai makanan cepat saji yang bisa buka hingga 24 jam, restoran Jepang biasanya tutup sementara usai melayani jam makan siang untuk buka kembali di sore hari. Biasanya pegawai restoran pada dua waktu itu pun diganti alias beda shift.

Dengan kata lain, jam kerja pegawai restoran di Jepang umumnya tak terlalu panjang. Hal ini membuat mereka sebenarnya sudah cukup dapat pemasukan dari gaji restoran saja, tanpa mengandalkan tip pengunjung.

4. Pegawai restoran dapat makan

Pemasukan tip pengunjung biasanya digunakan sebagai uang jajan pegawai restoran. Namun hal ini sepertinya tidak diperlukan di Jepang karena pegawai restoran sudah mendapat jatah makan setidaknya satu kali sehari.

Makanan ini disebut Makanan. Merujuk pada makanan yang dibuat khusus dapur restoran untuk dibagikan gratis pada pegawai. Biasanya makanai dibuat dari bahan-bahan segar di dapur. Tak jarang rasanya enak dan bahkan bisa dipromosikan untuk menu baru bagi pengunjung.

5. Restoran selalu berusaha memberi pelayanan terbaik

Tanpa mengandalkan tip pengunjung, restoran Jepang sudah punya standar untuk memberi pelayanan terbaik bagi para pengunjung. Hal ini terkait budaya kerja orang Jepang yang sangat baik, tak peduli apa jenis pekerjaannya.

Pada akhirnya kebijakan tidak memberi tip di restoran Jepang bukan berarti pengunjung tidak menghargai layanan pegawai, hanya saja sejumlah karakter budaya dan sosial setempat menjadikan memberi tip dianggap aneh atau bahkan tak sopan.

 

Sumber

#2019GantiGayaHidup #ubahcarapandang #investasi #inspiratif #yukinvestasi #gayahidupproduktif,

Enam Masalah Keuangan yang Hantui Generasi Milenial

VIVA – Muda dan sudah bekerja serta memiliki penghasilan tetap yang terbilang besar belum tentu bebas dari masalah keuangan. Pada kenyataannya, sebagian besar generasi milenial memang begitu akrab dengan sejumlah persoalan finansial meskipun telah memiliki pendapatan yang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Gaya hidup atau pergaulan kerap menjadi penyebab utama dalam persoalan-persoalan finansial yang dialami generasi milenial. Mengingat ada banyak anak muda yang menjalankan pola hidup konsumtif dalam keseharian mereka.

Lalu, bagaimana dengan kamu sendiri? Apakah persoalan yang sama juga terjadi pada dirimu?

Waspadai gaya hidup yang djalani. Sebab berbagai kebiasaan konsumtif bisa saja menimbulkan masalah besar nanti. Kalau finansial bermasalah, berbagai masalah lainnya juga bisa saja terjadi dalam hidupmu.

Untuk itu, mulailah memperbaiki kondisi keuangan sejak awal supaya berbagai persoalan finansial tidak akan datang menghampiri Anda lagi. Biasakan disiplin dalam mengelola keuangan sejak dini agar persoalan finansial bisa dihindari.

Berikut ini adalah enam masalah keuangan yang dihimpun Cermati.com, masih dialami generasi milenial yang telah bekerja dan memiliki penghasilan tetap.

 

1. Menjalankan keuangan tanpa anggaran yang jelas

Memiliki pendapatan tetap, tetapi tidak memiliki anggaran keuangan yang jelas. Ini adalah kesalahan fatal yang masih dialami banyak generasi milenial, bahkan meski mereka telah cukup lama bekerja dan terbiasa mengelola keuangannya sendiri.

Keuangan yang dijalankan tanpa anggaran dan aturan yang jelas tentunya tidak akan terarah dan sering bermasalah. Uang bisa saja habis dan menguap entah ke mana setiap bulannya, bahkan mungkin tidak akan mencukupi untuk kebutuhan selama sebulan penuh. Jika sudah begini, sejumlah utang akan muncul dalam keuanganmu.

 

2. Tidak memiliki tujuan finansial

Selain anggaran, tujuan finansial juga menjadi salah satu hal yang sering dilupakan generasi milenial. Sementara di sisi lain, tujuan finansial ini justru akan sangat berperan penting untuk membantu kamu mencapai kemapanan finansial. Jika tujuan finansial tidak jelas, kamu tidak akan bisa memiliki target pencapaian yang jelas dalam keuangan.

3. Belum punya tabungan

Sudah bekerja lama, tapi belum punya tabungan. Kondisi seperti ini termasuk sangat buruk. Sebab kamu akan hidup dari siklus gaji ke gaji setiap bulannya. Tabungan adalah komponen yang sangat penting dalam keuangan.

Sebab pos ini terbilang fleksibel dan kelak bisa dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan, seperti dana darurat, dana investasi, dan yang lainnya. Setidaknya, menabung harus dilakukan secara rutin dalam jumlah minimal 10-20 persen dari pendapatan bulanan kamu.

 

4. Punya utang, tapi sifatnya konsumtif

Masalah lainnya yang terbilang cukup buruk dan sering dialami generasi milenial adalah memiliki utang. Tidak masalah jika ini utang yang produktif di mana kamu mengalokasikan dana tersebut untuk berbagai kepentingan yang menghasilkan, misalnya bisnis, KPR, ataupun investasi.

Tapi, kalau ternyata utang ini bersifat konsumtif dan tidak memberikan manfaat apa-apa dalam keuangan, ini akan menjadi persoalan dalam keuangan kamu.

 

5. Belum mempersiapkan dana darurat

Belum mempersiapkan dana darurat dalam keuangan merupakan risiko yang cukup besar. Dana darurat akan menjadi ‘penyelamat’ kamu pada masa-masa krisis yang mungkin terjadi kapan saja dalam keuanganmu.

Sebab mungkin saja ada situasi di mana kamu kehilangan sebagian pendapatan mungkin karena PHK atau mengalami sakit sehingga mau tak mau harus berhenti bekerja. Masa-masa sulit ini akan lebih mudah dilalui kalau kamu memiliki sejumlah dana darurat. Besaran dana ini minimal 3-9 kali pengeluaran rutin bulanan.

 

6. Menunda melakukan investasi

Investasi menjadi salah satu cara untuk mencapai kemapanan dalam finansial. Hal ini juga akan menjadi jaminan keuanganmu pada masa yang akan datang. Apabila kamu tidak memiliki investasi, kondisi keuangan masih jauh dari kata mapan.

Hindari kesalahan sejak dini

Persoalan finansial bisa terjadi kepada siapa saja, terutama mereka yang masih berusia muda. Kesalahan dalam mengelola keuangan adalah penyebab utama hal ini. Untuk itu, selalu hindari berbagai kesalahan ini sejak dini supaya kamu terbebas dari berbagai persoalan keuangan pada masa mudamu. (one)

 #2019GantiGayaHidup #ubahcarapandang #investasicerdas #gayahidupproduktif,

Sumber

Bermodalkan Indomie, Pengusaha Warmindo Bisa Raup Rp 1,5 Juta Per Hari

TANGERANG, KOMPAS.com – Tidak sulit untuk menemukan warung-warung kecil yang menyediakan menu mie instan di kawasan Jabodetabek. Umumnya di wilayah perkantoran, kampus, atau di permukiman, warung mie instan ini selalu menjadi tempat yang selalu didatangi pembeli. Peluang bisnis warung mie instan atau Warung Indomie (Warmindo) ini pun cukup menjanjikan. Dadang (40) misalnya, dirinya mulai membangun usaha Warung Indomie di tahun 1990an, setelah sebelumnya sempat menjalani profesi kuli bangunan. Kini, dirinya dapat meraup untuk hingga Rp 1,5 juta per hari dari menjual berbagai variasi olahan Indomie.
“Saya tahun 1982 ikut kuli pertamanya, terus punya modal, bikin sendiri usaha sendiri, modal awal dulu Rp 25 juta sudah beres semua, ngumpulin-nya ya dari waktu jadi kuli,” ujarnya ketika ditemui Kompas.com saat pelepasan mudik pengusaha Warmindo di Pabrik Indomie Tangerang, Senin (11/6/2018). #gayahidupproduktif #investasi #investasicerdas
Berlokasi di kawasan sekitar Taman Tekno, BSD City Tangerang, Warmindo milik Dadang beroperasi selama 24 jam. Dibantu oleh 3 karyawannya, lelaki asal Sumedang ini mengaku sudah dapat menyekolahkan kedua anaknya. “Perkembangan usaha Alhamdulillah semakin maju, anak 2 sudah lulus sekolah. Modal awal juga sudah balik.
Bahkan lebih,” ujar dia. Sementara itu Ade (52), meskipun penghasilannya tak sebesar Dadang, dirinya mengaku, bisnis Warmindo telah menghidupi dirinya dan keluarga selama 25 tahun. “Dulu modal awal berapa ya? Rp 500.000 kayanya. Waktu itu ongkos Kopaja masih murah, buat bayar tanah sama Indomie satu kardus. Kalau nggak salah dari tahun 1989, udah (lebih dari) 25 tahun saya,” ujar Ade ketika ditemui Kompas.com di kesempatan yang sama. Warmindo milik Ade berada di wilayah Serpong. Dirinya mengaku, kini dapat menjual dua hingga 3 kardus Indomie setiap harinya. #gayahidupproduktif #investasi #investasicerdas
“Biasanya siang hari bisa dapat Rp 300.000, kalau malam lebih ramai, bisa lebih dari Rp 400.000,” jelas Ade. Ade, yang juga berasal dari Sumedang mengatakan, meskipun warung makan semakin menjamur, namun warung mie instan miliknya tidak pernah ditinggalkan pengunjung.
“Mungkin karena memang lidahnya orang-orang udah cocok sama mie instan ya,” lanjut Ade. Adapun warung miliknya saat ini hanya dijaga oleh Ade dan istrinya. Dirinya tidak memperkerjakan karyawan, karena menurutnya ongkos yang harus dikeluarkan untuk membayar karyawan cukup besar.
“Udah nggak pakai karyawan sekarang, sendiri aja sama istri. Habis gimana, anak sekarang tau sendiri pengennya gaji gede kerjanya enak. Yaudah mending pake bini aja dah,” tukas Ade.

Penulis : Mutia Fauzia
Editor : Bambang Priyo Jatmiko

#gayahidupproduktif #investasi #investasicerdas

ASN, THR dan Komsumerisme

Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah istilah baru yang sebelumnya disebut dengan pegawai negeri atau pegawai negeri sipil (PNS). Perubahan nama tersebut akibat diberlakukannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2014. ASN terdiri dari pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Sebagai modal dasar bagi pemerintah, maka ASN memiliki peran vital dalam mencapai tujuan politik pemerintah, khususnya dalam menentukan pergerakan roda pemerintahan. Gerak kutub pekerjaannya berkelindan dengan pelayanan publik dan implemnetasi kebijakan.
Arus globalisasi mengharuskan aparatur negara (ASN) mengembangkan kompetensinya dengan maksud dapat mengimbangi gerak laju perubahan yang terjadi setiap waktu. Sehingga kemajuan dibidang apapun dapat diantisipasi tanpa mengorbankan steakholder yang dilayaninya.
Pemerintah yang diwakili oleh aparat pengambil kebijakannya harus memikirkan dan bekerja keras untuk membangun birokrasi dan aparaturnya agar semakin efisien, efektif, responsif, kredible, berintegritas serta memiliki keahlian multi kompeten dan talenta dalam rangka menopang kemajuan bangsa menjadi negara yang berkelas dunia dengan kemajuan dan kesejahteraan serta diperhitungkan pada percaturan ekonomi, politik dan pertahanan global. Pertanyaannya adalah sampai kapan hal tersebut akan dapat dicapai dan meghilangkan idiom jauh panggang dari api.
Tapi kenyataan berbicara berbeda, ketika narasi ASN selalu menyajikan lakon yang anomali dalam realitas profesional. Masih banyaknya keluhan masyarakat akan lambatnya pelayanan dan sering munculnya suara sumbang akan adanya berbagai macam pungutan di luar ketentuan aturan agar pelayanan dapat dipermudah dan dipercepat. Bahkan narasi itu berlanjut pada masih kentalnya budaya feodal yang memposisikan ASN sebagai pekerja yang harus dilayani. Dengan demikian gerak roda pelayanan publik menjadi syair bernuansa satir atas hilangnya kearifan hamba yang terus menerus menginginkan sebagai tuan.
Linier dengan itu ASN harus memiliki kompetensi sesuai dengan bidang pekerjaan yang diampunya. Secara filosofis tanggung jawabnya ASN sangat berat karena berhubungan dengan Kata “pelayan” dan secara normatif harus mengutamakan sifat humanisnya. Sumber daya ASN harus mampu bekerja sesuai dengan kualifikasi, kompetensi dan kinerja yang sesuai dengan kebutuhan untuk menghasilkan aparatur yang memiliki integritas, profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
Berhubungan dengan pekerjaan tentunya aparatur ini mendapatkan gaji (salary) yang diatur secara rigit dengan mempertimbangkan lama pengabdian, jenjang (pangkat) dan pendidikan. Gaji yang diterima sebagai bentuk imbalan dari perjanjian atau pengabdian dalam memenuhi kebutuhan hidup secara personal atau kelompok (rumah tangga). Pameo yang mengatakan gaji yang tinggi akan menyebabkan kinerja yang baik serta produktivitas hasil pekerjaan selalu tepat waktu. Ujaran kehidupan layak selalu selalu diukur oleh pemenuhan gaji yang sesuai dengan standar hidup.
Pernyataan di atas mungkin benar atau sebaliknya. Karena kenyataan, banyak dari ASN yang selalu merasa kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, khususnya yang berhubungan dengan kebutuhan hidup sehari-hari plus berhubungan dengan pembiayaan lain yang berhubungan dengan kebutuhan sekunder.
Narasi itu selalu terdengar bak cerita seribu satu malam dengan segala keunikan dan kejengkelan yang ditampilkan. Himpitan hidup akibat tingginya kebutuhan menjadi salah satu faktor ketidakberdayaan dalam memenuhi hasrat minimal dalam hidup kesehariannya. Pertanyaannya apakah karena faktor gaji yang kurang atau karena fundamental manajeman personal yang menyebabkan selalu kurangnya gaji yang diterima?.
Pemerintah sebagai regulator dan operator sesungguhnya sudah meluncurkan berbagai perbaikan gaji yaitu dengan tunjangan kinerga dan untuk guru dengan tunjanga profesi guru (TPG) atau yang lebih dikenal dengan tunjangan sertifikasi untuk memenuhi hidup layak bagi para ASN. Istilah gali lubang tutup lubang bukan lagi kidung realitas sosial dalam kehidupan yang harus diratapi sepanjang waktu dan lubang itu harus betul ditutup sehingga para ASN tidak terperosok secara terus menerus.
Fenomena ASN dan gaji bukan juga sebagai dramaturgi yang dalam pandangan Erving Goffman (1959) merupakan teori dasar tentang bagaimana individu menampilkan dirinya di dunia sosial. Goffman memusatkan perhatiannya pada interaksi secara tatap muka (face to face) atau kehadiran bersama (co-presence). Santoso (dalam suciptaningsih, 2017) mengatakan bahwa Individu dapat memperlihatkan pertunjukan apapun bagi individu lain, tetapi kesan (impression) yang diperoleh publik terhadap pertunjukan itu berbeda-beda, ada yang meyakini pertunjukan yang diperlihatkan olehnya, ada juga yang bersikap sebaliknya.
Tunjangan Hari Raya dan Budaya Konsumerisme
Tunjangan Hari Raya (THR) adalah Kewajiban bagi Pemerintah dan Pengusaha. Adanya kebutuhan tambahan mengharuskan pemerintah membuat kebijakan yang memang menjadi hak dari pekerja atau pegawai untuk mendapat penghasilan tambahan. Pemberian Tunjangan ini menjadi suatu kewajaran demi untuk memenuhi kebutuhan pada.hari raya keagamaan.
Dimaksud dengan hari raya keagamaan tersebut adalah Hari Raya Idul Fitri bagi Pekerja/Buruh yang beragama islam, Hari Raya Natal bagi Pekerja/Buruh yang beragama Kristen Katholik dan Kristen Protestant, Hari Raya Nyepi bagi Pekerja/Buruh yang beragama Hindu, Hari Raya Waisak bagi Pekerja/Buruh beragama Budha, dan Hari Raya Imlek bagi Pekerja/Buruh yang beragama Konghucu. Pemberian tunjangan hari besar keagamaan bagi ASN berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2018, dan bagi pekerja atau buruh berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No.6 Tahun 2016.
Tunjangan hari raya selalu identik dengan berapa gaji yang biasa dibawa pulang setiap akhir. Dengan pemahaman bahwa itu merupakan standar sebagai tunjangan tambahannya dalam rangka memenuhi kebutuhan yang tidak bisa diperkirakan dalam menyambut datangnya hari besar penganut agama tersebut. Tanpa berpretensi dan mengeneralisir keadaan, tunjangan yang diberikan juga kadang tidak mampu menutup kebutuhannya. Hal itu terjadi nafsu berbelanja yang selalu berlawanan dengan nalar dan logika akal sehat. Maksud dari pernyataan tersebut para penerima tunjangan tersebut tidak membuat skala prioritas dalam memperlakukan tunjangan yang diperolehnya. Nafsu berbelanja diluar kemampuan menjadi panduan utama sehingga berlaku hukum lebih besar pasak dari pada tiang. Tunjangan hari raya menjadi sarana baru untuk menjadi konsumtif dengan meng-atasnamakan gaya hidup modern.
Masyarakat di Indoensia memang dikenal sebagai masyarakat konsumtif. Saat barang-barang yang dimiliki masih berfungsi, dan produk baru keluar, maka kecendrungan untuk memiliki produk tersebut sangat tinggi. Mengikuti trend merupakan dasar utama tanpa mempertimbangkan kekuatan finansial dan keberfungsiannya. Bahkan yang sangat lucu, untuk mendapatkan barang baru tersebut dilakukan dengan cara berhutang. Munculnya supermamarket, hipermarket membuat masyarakat dan ASN khususnya dimanjakan dengan berbagai ragam pilihan produk dari kebutuhan pokok hingga barang-barang sepele.
Dalam persfektif Baudrillard (dalam Fadhilah, 2011) barang sepele tersebut sebagai gad, get, kitsch, sebagai objek murahan, yaitu pernik sederhana (cindera mata) yang merupakan objek semu, tapi memberi simbol status sosial yang memiliki makna tersendiri bagi kehidupan subyek yang bersangkutan. Hal itu disimulasikan dari masyarakat konsumsi yang dianologkan dengan masyarakat primitif. Simulasi sebagai “objek palsu”
Bahasa keumuman yang berlaku adalah budaya konsumerisme menjadi gaya hidup yang sulit untuk dihilangkan bahkan dihapus sama sekali. Kepuasan yang diasumsikan dengan dapat membeli dan mengkonsumsi barang baru yang dalam tesis Celia Lury (dalam Alfitri, 2007) merupakan bentuk khusus dari budaya materi yang telah berkembang pada masyarakat Eropa-Amerika pada abad 20.
Tidak bisa dipungkari sebagai abdi negara, ASN memang selalu berkutat dengan permasalahan keuangan. Ketidakcukupan gaji menjadi lagu merdu diantara jutaan ASN (aparatur sipil negara) karena berbagai kebutuhan yang dihadapi. Bukan hanya urusan perut, tapi juga kebutuhan lain baik bersifat primer atau non primer. Namun dibalik itu kadang-kadang Gaya hidup untuk menyesuaikan dengan perkembangan musim merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi, sehingga budaya konsumerisme juga masih menjadi penyakit genetik yang sulit disembuhkan.
Semakin majunya ilmu pengetahuan sekaligus diiringi dengan teknologi sebagai perangkatnya, membawa pada pola hidup yang tidak dapat diperkirakan. Gampangnya masyarakat mengukuti trend kemajuan itu merupakan konsekuensi sifat manusianya untuk bergerak dalam perubahan itu sendiri. Celakanya, kemajuan itu disikapi pada sisi gaya hidup bersenang-senang dalam bentuk budaya konsumtif sebagai bentuk respon peningkatan kebanggaan (prestige) dalam mendapatkan pengakuan peningkatan kemampuan di bidang ekonomi dan kemapanan hidup baik sebagai individu atau rumah tangga.
Akhir dari tulisan ini adalah ingin menyampaikan pesan atau pendapat bahwa tunjangan hari raya yang diberikan oleh pemerintah pada ASN bukan untuk menuruti hawa nafsu berbelanja diluar nalar dan kemampuan. Oleh karena itu konsumerisme tidak menjadi bagian hidup ditengah ketidakmampuan finansial. Pemerintah memberikan insentif karena banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi menjelang lebaran, sehingga beban berat dapat dikurangi bahkan di tiadakan sama sekali. Kalau budaya konsumerisme tidak dapat dihilangkan, alih-alih beban dapat dikurangi, yang muncul adalah beban semakin menumpuk dan jalan kebingungan makin terbuka lebar. (*)
 
Oleh : Dr. Ridwan, M.KPd
* Penulis praktisi dan akademisi di Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur.
 
#gayahidup #stopkonsumerisme #investasicerdas #lawankonsumerisme #trendhidup #ubahcarapandang

Gaji Anda Tak Pernah Cukup? Coba Bedakan Irit dan Pelit

Sebab jika dipelajari lebih dalam dengan melakukan pengaturan keuangan dengan baik, menjadi karyawan juga bisa kok untuk menutup kebutuhan, dan bisa menabung dengan baik. Bahkan sebenarnya dengan pendapatan yang tetap itu, maka perencanaan keuangan pun lebih mudah pengaturannya.

Maka dari itu, cobalah untuk menghindari beberapa alasan yang membuat gaji terasa selalu kurang, dan kenali penyebabnya. Berikut penyebab kenapa gaji bulanan Anda selalu terasa kurang, di antaranya:

1. Gaya Hidup ‘Hedon’

Gaya hidup hedonisme memang identik dengan konsumtif. Perilaku yang suka menghambur-hamburkan uang alias boros ini tak lepas dari sifat konsumtifnya akan segala hal yang diinginkan, tanpa berpikir panjang. Sikap konsumtif sudah pasti bertolak belakang dengan produktif. Maka berapapun uang yang ada, tidak akan pernah cukup bila kita memiliki gaya hidup yang ‘hedon’ ini.

Gaya hidup ini seringkali tidak memperhatikan mana yang prioritas dan mana yang tidak. Asal ingin memiliki suatu barang atau sekedar mengikuti tren yang ada, tanpa berpikir panjang, semuanya dibeli. Menghabiskan waktu setiap ada kesempatan untuk cuci mata di mall dan memanjakan diri dengan produk-produk yang sebenarnya tidak dibutuhkan akan menguras cepat menguras dompet dengan cepat.

Tahu kah Anda, wisata kuliner yang berlebihan itu pun sebenarnya juga gaya hidup ‘hedon’. Sebab harga jual makanan itu pun umumnya tidak semurah bila kita membeli bahan-bahan makanan untuk memasak sendiri. Satu porsi untuk sekali makan saja, harganya bisa puluhan ribu. Belum lagi di tempat-tempat yang dibilang prestisius.

Anggap saja harga Fish and Chip satu porsi Rp60.000

1 Minggu : 7 porsi x Rp60.000 = Rp420.000

1 Bulan : 30 porsi x Rp60.000 = Rp1.800.000

1 Tahun : 365 porsi x Rp60.000 = Rp21.900.000

Ilustrasi itu hanya satu menu pokok saja. Belum lagi dengan aneka macam minuman dan makanan ringan lainnya yang rata-rata harganya juga relatif cukup mahal.

Jadi mengejar dan menikmati kesenangan dari materi sebagai tujuan utama dalam hidup ini adalah yang sebenarnya bisa membuat berapa pun gaji diterima akan terasa kurang terus. Jadi, bijaklah membelanjakan uang Anda dengan tidak membeli barang yang tidak perlu. Jauhkan dari hanya sekedar ‘ingin’ ketika pergi ke pusat perbelanjaan dan tempat-tempat kuliner.

2. Kebiasaan Merokok dan Minum Alkohol

Musuh pertama dari sikap hidup hemat adalah gaya hidup kita sendiri. Salah satu gaya hidup orang yang sebenarnya buruk dan jelas berdampak langsung bagi kesehatan adalah kebiasaan merokok. Setidaknya bila masih terus hendak memelihara kebiasaan merokok maka perhatikan hitungan berikut ini :

1 bungkus rokok : Rp20.000

1 Minggu : 7 bungkus x Rp20.000 = Rp140.000

1 Bulan : 30 bungkus x Rp20.000 = Rp600.000

1 Tahun : 365 bungkus rokok x Rp20.000 = Rp7.300.000

Perhitungan ini adalah asumsi dasar bahwa dalam sehari, seorang perokok bisa menghabiskan satu bungkus rokok. Kelihatannya mungkin kecil tapi pada dasarnya ini sama saja dengan 20 % dari gaji perbulan yang didapatkan, dengan asumsi gaji adalah Rp3.000.000 per bulan. Tentu kalkulasi ini terus bertambah bila jumlah bungkus rokok yang dihabiskan lebih banyak. Ini hanya satu kebiasaan buruk saja, bayangkan bila ditambah dengan kebiasaan buruk lainnya.

Begitu juga dengan kebiasaan mengonsumsi minuman alkohol. Selain dampaknya yang buruk bagi kesehatan yang ujung-ujungnya juga bisa menelan biaya perawatan dan pengobatan apabila mengidap suatu penyakit akibat minuman ini, alkohol juga dikenal dengan harganya yang tidak semurah minuman ringan.

3. Tidak Bisa Membedakan Mana Irit dan Mana Yang Pelit

“Jangan sampai mau untung malah buntung”, ada yang bilang demikian. Terkadang sikap demikan kerap terjadi. Maksudnya ingin irit, malahan terkesan pelit yang ujung-ujungnya jadi rugi lebih banyak.

Sebagai contoh adalah kasus parkir liar, karena orang enggan membayar lebih mahal untuk parkir resmi. Kelihatannya memang murah, karena hanya 2000 sekali parkir, tapi bila dikalikan tentu bisa jadi besar. Ini hanya dari segi biaya parkirnya, yang tidak kelihatan justru adalah risikonya, karena bisa jadi mobil terserempet kendaraan lain, tertabrak, dan yang lebih parah adalah hilang karena dicuri.

4. Obsesi Mengejar ‘Obral’ dan Diskon

Hal lain yang juga perlu dikenali gemar mencari barang-barang yang diobral murah atau potongan harga dengan model diskon. Ini memang memberikan keuntungan bila barang yang sedang didiskon tersebut memang produk yang dibutuhkan.

Namun kebiasaan mengejar diskon ini juga tak selalu baik. Sebab akan mendorong untuk membeli barang tersebut meski sebenarnya tidak diperlukan. Terlebih lagi bia menjadi tergiur untuk membeli dengan jumlah yang banyak.

Dan yang perlu diperhatikan lagi, sesungguhnya harga-harga barang yang didiskon itu tidak selalu benar-benar murah. Tidak sedikit pula sebenarnya harga tersebut sudah dinaikkan terlebih dahulu baru dibanderol dengan label diskon sekian persen, hanya untuk menarik keinginan konsumen untuk membelinya.

Bagaimanapun juga model diskon juga kerap sebagai strategi marketing saja. Memanfaatkan efek psikologis orang untuk tidak enggan membelanjakan uangnya. Jadi cermat dalam melihat promo-promo sangat penting agar tak sekedar tergoda dengan promo semu yang ditawarkan. Sebab barang diskon dari cuci gudang terkadang jumlahnya terbatas, ada kemungkinan mendapatkan yang berkualitas rendah.

5. Tidak Paham Layanan Keuangan

Data dari World Bank menunjukan bahwa 49% masyarakat Indonesia masih belum tersentuh dan tidak mengerti pentingnya layanan finansial perbankan. Alasannya pun bermacam-macam, 79% mengatakan tidak memiliki layanan perbankan, termasuk juga tentunya rekening bank, dan sisanya mengatakan alasan lain-lain, termasuk tidak merasa mendapat manfaat dari menabung, tidak punya pekerjaan tetap sehingga perlu rekening sebagai sarana pay roll dari bank dan sejenisnya.

Ini tentu mengejutkan, karena dengan demikian maka ada kemungkinan banyak masyarakat yang belum melek terhadap pentingnya layanan finansial. Padahal memahami adanya layanan finansial ini memberikan banyak manfaat sebagai pengelola keuangan lebih baik.

6. Selalu Defisit

Defisit keuangan terjadi ketika pendapatan tidak sebesar pengeluaran. Peribahasa ‘besar pasak daripada tiang’ ini merupakan bencana keuangan. Bagaimana tidak? Sebab pendapatan yang diperoleh setiap bulannya ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok dan masih harus mencari pinjaman sana-sini untuk menutupnya.

Gaji bulanan pun seolah hanya numpan lewat saja. Padahal kebutuhan untuk masa depan sangat penting untuk dipersiapkan dari sebelumnya. Untuk itu bijak menggunakan pendapatan dan cermat dalam membelanjaan sangat penting diperhatikan bila tidak ingin hanya ‘gali lobang tutup lobang, pinjam uang tutup utang’.

7. Enggan Buat Anggaran Perbulan dan Tak Sadari Pentingnya Investasi

Meski layanan investasi dan panduan dalam membuat anggaran bulanan sudah banyak ditemukan, namun nyatanya tidak sedikit yang masih belum memanfaatkannya. Padahal dengan membuat pos anggaran per bulan dengan baik, maka akan melatih diri untuk disiplin dan bijak menggunakan penghasilan.

Begitu juga dengan investasi, tak sedikit orang masih menganggap bahwa menabung saja sudah cukup, padahal ada faktor lain seperti misalnya inflasi dan gangguan finansial makro lainnya.

Dengan memanfaatkan layanan investasi, artinya kita memutar uang kita untuk lebih berkembang dan mendapatkan untung lebih. Sehingga uang tidak hanya berdiam di dalam dompet atau di bawah bantal saja, tapi dimanfaatkan untuk memperoleh return yang tinggi. Tentu yang harus diperhatikan juga adalah memilih instrumen investasi yang baik dan aman serta nyaman sesuai keinginan.

8. Menganggap Sepele Asuransi

Jangan sekali-kali menyepelekan pentingnya memiliki asuransi, baik kesehatan maupun asuransi jiwa. Tentu hidup aman-aman saja dan terhindar dari sakit dan penyakit itu harapan semua orang. Namun kita tidak pernah tahu kapan sakit atau bencana itu datang menghampiri. Sudah pasti mengantisipasi atau mempersiapkan diri dengan segala kemungkinan itu penting daripada tidak sama sekali.

Bisa dibayangkan ketika ketika sakit, biaya perawatan dan pengobatan tidaklah murah. Bila memiliki asuransi, maka beban tagihan itu bisa dilindungi oleh asuransi. Bila tidak, bisa-bisa seluruh harta benda dijual hanya untuk biaya pengobatan.

9. Punya Terlalu Banyak Kartu Kredit dan Minim Bayar Tagihan

Punya kartu kredit sebenarnya adalah keuntungan, asal tau cara mengelola dengan benar. Bila tidak, maka akan jadi bencana keuangan, apalagi bila sudah sukses aplikasi kartu kredit yang pertama. Selanjutnya bisa kecanduan dengan kemudahannya, dan akhirnya terus mengajukan hingga terlalu banyak pegang kartu kredit.

Sementara itu, kemampuan membayar tagihan kartu kredit hanya sampai batas jumlah minimum, tidak termasuk bunga cicilan tagihan kartu kreditnya. Padahal yang demikian akan memperparah keuangan. Pasalnya, bila belum lunas tagihan di bulan sebelumnya akan diakumulasikan di bulan berikutnya. Semakin menunggak maka semakin besar pula bunga yang harus dibayarkan. Nah, kebayang kan bila jumlah kartu kreditnya banyak?

Gaji akan Cukup dengan Cermat Mengelola Keuangan

Setiap bulan, selalu saja merasa gaji yang diterima tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan. Jika gaji kecil, tampaknya wajar saja bila banyak hal yang tidak bisa dipenuhi. Alih-alih bisa merasa sejahtera, tidak mengalami defisit dan ‘gali lubang tutup lubang’ saja sudah untung.

Namun berbeda halnya bila sebenarnya gaji yang diterima sudah cukup lumayan, terlebih lagi bila jumlahnya besar. Selain bisa memenuhi kebutuhan pokok, tentunya juga ada uang lebih untuk sesuatu yang lain. Namun tak jarang meski gaji sudah besar, tapi rasanya tetap saja kekurangan uang menjelang akhir bulan. Nah, kondisi seperti ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam pengelolaan keuangan Anda.

Bijak dalam mengelola keuangan pribadi dengan tahu alasan-alasan di atas adalah sumber dari kecukupan keuangan dari gaji setiap bulannya. Selain itu, juga akan menghindarkan diri dari stres yang mengganggu kesehatan yang ujungnya akan mengganggu keuangan bisa sakit.

Untuk itu mulailah dengan cermat menggunakan gaji bulanan Anda bila tidak ingin selalu kesulitan tiap akhir bulan. Sehingga gaji bulanan pun akan terasa menjadi suatu hal yang patut disyukuri.

(rzk)

Disadur dari

Bahaya Terlalu Sering Mengajak Anak ke Mal

KOMPAS.com – Saat mengajak Si Kecil berjalan-jalan kerap kali mungkin Moms kehabisan ide atau malas untuk pergi yang jauh sehingga memilih mengajaknya ke mal. Sebenarnya mengajak anak main ke mal bukanlah pilihan buruk karena banyak sekali hal yang dapat dilakukan di sana. Meski demikian, ternyata terlalu sering mengajak Si Kecil pergi ke mal ternyata memiliki bahaya tersendiri lho, seperti: 

1. Konsumtif Tentulah tak sedikit pengeluaran yang Moms keluarkan ketika sudah berkunjung ke mal. 

Pengeluaran besar tersebut meliputi tiket masuk wahana permainan, membeli makanan dan minuman, belum lagi godaaan diskon atau barang bagus. 

Nah! Jika minimal seminggu sekali saja Si Kecil dibawa ke mal, lama-lama kegiatan ini menjadi sebuah gaya hidup. Mereka akan selalu menagih untuk ke mal lagi di akhir pekan. Kebiasaan ini tentu akan berpotensi terbawa sampai mereka dewasa dan dapat membuatnya menjadi sosok dengan perilaku konsumtif

2. Gaya hidup yang mewah Ketika bepergian ke mal, Moms tentu tak akan mendapati pengunjung yang berpakaian jelek. Hampir semua orang yang pergi ke sana berpakaian rapih, menarik serta menenteng sejumlah kantong belanjaan. Belum lagi para pengunjung yang ada di sana tentu kerap masuk ke gerai kuliner, lalu memesan seporsi minuman dan camilan. 

Sadarkah Moms bahwa aktivitas ini ternyata termasuk dalam kategori gaya hidup mewah? Awalnya Si Kecil mungkin hanya akan memperhatikan saja, namun berhati-hatilah karena hal semacam ini akan dengan mudahnya tertanama pada benak mereka dan terbawa hingga dewasa. 

3. Kesulitan bersosialisasi Seringnya membawa Si Kecil ke mal ternyata dapat menyebabkan mereka menjadi sosok yang sulit bersosialisasi. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan meskipun di mal terdapat banyak sekali orang, namun sedikit sekali atau bahkan tak satupun yang akan berinteraksi dengannya. 

Berbeda halnya jika Moms membawa ia ke tempat yang jauh lebih banyak teman sebayanya. Tak perlu jauh-jauh, bahkan bermain di sekitaran rumah bersama para tetangga pun dapat membantu ia tumbuh menjadi sosok yang mudah berinteraksi, lho. 

4. Sumber penyakit Membiasakan Si Kecil terlalu sering berada di mal ternyata dapat menimbulkan dampak buruk paa kesehatannya. Hal ini disebabkan karena udara di dalam mal kurang sehat, tidak sesegar taman bermain yang masih banyak pepohonan. Hawanya memang sejuk, namun hal tersebut bukan oksigen alami melainkan udara dari AC. 

Tak hanya itu, makanan dan minuman yang ada di mal mayoritas adalah makanan cepat saji. Dimana rasanya memang menggiurkan namun berbahaya bagi tumbuh kembangnya. Terakhir, gangguan kesehatan yang mungkin terjadi adalah gangguan pendengaran. Kebisingan suara di mal merupakan perpaduan suara pengunjung dan musikk dimana hal ini memiliki intensitas yang cukup tinggi atau dapat disebut dengan polusi suara. 

5. Pemandangan yang tak sesuai usia Moms berupaya sebisa mungkin menjauhkan Si Kecil dari tontonan yang belum sesuai dengan usianya. Namun, upaya Moms tersebut agaknya akan tidak efektif bila Moms kerap mengajak Si Kecil pergi ke mal terlalu sering. 

Pernahkah Moms memperhatikan bahwa banyak sekali pasangan muda-mudi yang berjalan bersama sambil saling rangkul atau berpegangan tangan. Bahkan, tak jarang ada yang sampai berani saling cium di muka umum, lho. Hal inilah yang akan menjadi buruk bagi Si Kecil, salah satunya mereka bisa menjadi dewasa sebelum waktunya. Masih amat banyak tempat yang menyenangkan dan sederhana untuk mengajak Si Kecil jalan-jalan, tak perlu bingung apalagi sampai selalu menjadikan mal sebagai satu-satunya pilihan untuk menyenangkannya.

Editor : Lusia Kus Anna

 

7 Tip Manajemen Waktu Ini Dapat Membantu Kamu Lebih Produktif

Setiap orang diberikan jumlah waktu yang sama dalam satu hari, tidak lebih dan tidak kurang. Akan tetapi mengapa ada seseorang yang dalam sehari dapat mengerjakan hal yang berdampak luar biasa, namun ada juga yang tidak menghasilkan apapun?
Salah satu penyebab kurangnya produktivitas adalah karena tekanan pekerjaan. Sebuah studi yang dirilis oleh The British Medical menyatakan stres pada lingkungan kerja dapat diminimalkan melalui manajemen waktu yang efektif.
Jika kamu merasa selalu kekurangan waktu untuk mengerjakan suatu hal, tujuh tip manajemen waktu berikut dapat membantu kamu menjadi lebih produktif.
Buat rencana harian, mingguan, dan bulanan
Catat apa yang akan dikerjakan esok hari sebelum kamu tidur. Mengerjakan suatu hal tanpa perencanaan akan membuatmu kehabisan waktu dan tenaga keesokan harinya.
Ketika kamu membuat daftar apa saja yang akan kamu lakukan esok hari, hal ini membuat tubuhmu menjadi jauh lebih siap dan santai ketika bekerja, karena kamu sudah mengetahui apa saja yang akan dilakukan.
Setelah membuat jadwal harian, lanjutkan ke skala yang lebih besar, yaitu mingguan dan bulanan. Lalu atur jadwal kerja secara rutin, sehingga tubuhmu akan beradaptasi dengannya.
Gunakan aplikasi reminder, jangan hanya mengandalkan ingatan
Jika kamu belum memiliki seseorang yang mampu mengingatkan pekerjaan kamu, contohnya pasangan hidup atau asisten pribadi, aplikasi reminder di smartphone dapat menghindarkan kamu dari melewatkan hal penting yang sudah direncanakan. Jangan hanya mengandalkan ingatanmu yang terbatas, karena mungkin saja kamu bisa melupakannya.
Kamu dapat menggunakan Google Calendar dalam membantu kamu mencatat goalreminder, dan event. Dengan Aplikasi ini kamu juga dapat mencatat jadwal harian, mingguan, dan bulanan yang sudah kamu buat.
Tentukan prioritas

Bagi pekerjaanmu ke dalam skala prioritas untuk menentukan mana yang harus kamu kerjakan paling awal. Dengan membagi prioritasnya, kamu mampu memisahkan hal yang sangat penting dan harus segera dikerjakan—atau bahkan mengabaikan pekerjaan yang tidak penting.

Stephen R. Covey memopulerkan Eisenhower Matrix dalam bukunya yang berjudul 7 Habits of Highly Effective People. Eisenhower Matrix, yang terbagi ke dalam empat kuadran, digunakan untuk memisahkan berbagai kegiatan berdasarkan urgensinya.
Kuadran pertama, yaitu mendesak dan penting (urgent and important), berisi tugas dan tanggung jawab yang perlu perhatian segera. Kuadran kedua, yaitu tidak mendesak dan penting (not urgent and important), berisi hal yang penting tanpa memerlukan tindakan segera. Kuadran ini digunakan untuk menyusun strategi jangka panjang.
Kuadran ketiga, yaitu mendesak dan tidak penting (urgent and not important), berisi hal-hal yang mencegah kamu mencapai tujuan. Tanyakan pada diri sendiri apakah kamu perlu menjadwal ulang atau mendelegasikan pekerjaan tersebut kepada orang lain. Lalu kuadran keempat, yaitu tidak mendesak dan tidak penting (not urgent and not important), berisi hal-hal yang mengganggu perhatianmu dari pekerjaan. Hindari jika memungkinkan.
Buat batas waktu
Batas waktu akan memastikan pekerjaan rampung sebelum kamu terlambat menyelesaikannya. Dengan adanya batas waktu, kamu menjadi semakin terpacu untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Batas waktu juga memunculkan rasa tanggung jawab untuk berhasil mengerjakannya tepat waktu.
Atur batas waktu dengan memberi jeda waktu yang cukup untuk mengevaluasi kembali pekerjaan kamu. Hal ini memungkinkan kamu untuk tidak tergesa-gesa menyelesaikannya saat mendekati tenggat yang ditentukan. Dengan begitu kamu dapat menghemat energimu.
Stop multitasking
Alih-alih mampu menyelesaikan beberapa pekerjaan dalam satu rentang waktu, multitasking akan membuatmu tidak fokus. Sehingga pekerjaan malah tidak dapat diselesaikan dengan optimal. Bisa saja kamu mengerjakan pekerjaan secara multitasking, namun potensi kesalahan pada hasilnya akan lebih tinggi.
Perlu kamu ketahui, ketika melakukan beberapa pekerjaan secara multitasking, otak dipaksa bekerja lebih keras untuk memproses banyak hal secara bersamaan. Ini dapat membuatmu cepat lelah dan stres. Selain itu multitasking mampu menurunkan kemampuan memori, khususnya short term memory.
Sebaiknya kamu mengerjakan satu pekerjaan hingga tuntas, kamu bisa melanjutkan pekerjaan lainnya. Dengan begitu kamu dapat lebih fokus dalam mengerjakannya dan mendapatkan hasil yang jauh lebih baik.
Beri waktu untuk istirahat
Beri tubuh kamu waktu untuk beristirahat lima belas menit setelah satu jam bekerja. Jangan buka email atau media sosial. Gunakan waktu tersebut secara optimal untuk menyegarkan kembali otakmu.
Cukup lakukan hal sederhana seperti melakukan peregangan atau menghirup udara segar dari jendela. Hal ini dapat membangkitkan kembali semangatmu.
Segera kerjakan, jangan menunda!
Sumber Perjalanan sejauh 1.000 km dimulai dengan satu langkah. Analogi tersebut menggambarkan bahwa pekerjaanmu tidak akan pernah selesai jika kamu tidak segera memulainya. Angan-angan dan cita-citamu tidak akan pernah tercapai dan hanya akan menjadi sekadar mimpi di siang bolong jika kamu masih malas dan terkena penyakit “menunda-nunda.”